1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sebagai negara yang berbhineka Indonesia adalah bangsa
yang beragam dalam konteks penggunaan bahasanya. Lebih dari ribuan bahasa
dimiliki bangsa ini dan mayoritas tumbuh subur dalam komunitas penggunanya.
Keberagaman yang kompleks ini selaras dengan keberagaman kehidupan berbahasa. Bahasa
sebagai alat utama dalam melakukan komunikasi antarsesama menjadi kekuatan
penting dalam berbagai macam kegiatan. Dalam dunia pendidikan bahasa menjadi
faktor utama karena bahasa merupakan media pengantar. Keanekaragaman bahasa
yang ada beserta dialek dan variasi berbahasa lainnya menimbulkan ragam tindak
tutur menjadi bervariasi dalam aneka warna budaya. Kevariasian dan keberwarnaan
bahasa saat ini secara kultural mencerminkan sikap kesantunan dan
ketidaksantunan penggunaan bahasa, misalnya penggunaan kosa kata dalam kaitannya
dengan tempat ataupun lawan bicara.
Bahasa merupakan media amat penting dalam
berkomunikasi. Bentuk materi informasi apa pun yang disampaikan dari orang ke
orang lain memerlukan bahasa sebab bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi
lengkap hanya dimiliki manusia. Di Indonesia kebutuhan dunia komunikasi terhadap
bahasa Indonesia telah memungkinkan bahasa tersebut mengalami perkembangan yang
cukup signifikan.
Dalam perkembangannya bahasa Indonesia sebagai media komunikasi utama bangsa Indonesia semakin
menunjukkan kematangan dan kemantapannya. Hal ini selaras dengan perjalanan
tingkat budaya massyarakat Indonesia yang sangat menjunjung kesopanan dan
kesantunan, termasuk dalam berbahasa. Perihal yang ingin diutarakan tidak hanya
terkait dengan pemilihan kata, tetapi juga mencakup budaya atau cara penyampaian.
Pemilihan kata yang dirasakan oleh seseorang bermakna positf dan tepat apabila
disampaikan dengan cara yang kurang tepat akan dianggap tidak sopan dan tidak santun.
Nilai kesantunan berkaitan dengan konvensi masyarakat
atau komunitas tertentu berada. Secara sosial konvensi tersebut disepakati
sehingga menjadi norma yang berlaku. Setiap anggota masyarakat percaya bahwa
kesantunan yang diterapkan mencerminkan tingkat budaya masyarakat, termasuk
kesantunan berbahasa. Di samping itu pada umumnya setiap masyarakat memiliki
hierarki sosial yang dikenakan pada kelompok-kelompok anggota mereka. Hal ini
terjadi sebagai cerminan mereka telah menentukan penilaian terhadap hal tertentu,
misalnya, antara tua-muda, majikan -buruh, guru-murid, kaya-miskin, dan status lainnya.
Faktor konteks situasi dan kondisi dapat juga perlunya
diterapkan kesantunan. Suasana formal atau resmi sangat menekankan kesantunan
ini. Penilaian yang diberikan kepada hierarki sosial merupakan penilaian emotif
yang diberikan kepada seseorang individu atau kelompok. Penilaian sepeti ini
merupakan tanda hormat atau apresiasi kepada yang bersangkutan. Fenomena ini
sudah diterapkan oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu. Di sisi lain perkembangan
tekhnologi informasi dalam era globalisasi sekarang ini amat berpengaruh terhadap
perkembangan bahasa, khususnya bahasa yang digunakan sehari-hari. Pengaruh-pengaruh
ilmu pengetahuan, budaya luar, serta semakin banyaknya kosa kata atau istilah
sebagai serapan yang masuk turut mempengaruhi nilai kesopanan serta kesantunan berbahasa.
Dalam konteks individu bahasa dapat menunjukkan cerminan
pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi
dari perkataan yang diapkan. Penggunaan bahasa yang halus, lemah lembut, sopan,
santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Sebaliknya, penggunaan
bahasa yang bersifat sarkastis, menghujat, memaki, memfitnah, mendiskreditkan, memprovokasi,
mengejek, atau melecehkan, akan mencitrakan pribadi yang kurang berbudi.
Seringkali kita
dengar pepatah bahwa "bahasa menunjukkan bangsa". Bagaimanakah
sebenarnya tingkat peradaban dan jati diri bangsa tersebut? Apakah suatu bangsa
termasuk bangsa yang ramah, bersahabat, santun, damai, dan menyenangkan ataukah
sebaliknya, termasuk bangsa yang senang menebar bibit-bibit kebencian, menebar
permusuhan, suka menyakiti, bersikap arogan, dan mau menang sendiri? Bahasa
memang memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan
emosional. Begitu pentingnya bahasa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara sehingga perlu suatu kebijakan yang berimplikasi pada pembinaan dan
pembelajaran di lembaga pendidikan penggunaan bahasa dengan baik dan benar.
Dalam kurikulum
pada setiap tingkat atuan pendidikan bahasa Indonesia termasuk dalam kelompok mata
pelajaran estetika. Kelompok ini juga merupakan salah satu penyangga dari
kelompok agama dan akhlak mulia. Ruang lingkup akhlak mulia mencakup etika,
budi pekerti, atau moral. Kelompok mata pelajaran estetika sendiri bertujuan
meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan mengapresiasi
keindahan dan harmoni. Kemampuan itu mencakup apresiasi dan ekspresi, baik
dalam kehidupan individual sehinggamampu menikmati dan mesyukuri hidup, maupun
dalamkehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang
harmonis. Tujuan rumpun estetika tersebut dijabarkan dalam pembelajaran bahasa
Indonesia yang bertujuan agar peserta didiknya memiliki kemampuan antara lain
(1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku,
baik secara lisan maupun tulis dan (2) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan
kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
Ranah yang menjadi
target pembelajaran adalah aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Secara konkret memang pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan sejak tingkat
sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Ini menunjukkan bahwa secara kurikuler
bahasa Indonesia memiliki posisisi strategis dan utama dalam pendidikan formal.
Maka, tak pelak lagi manakala bahasa Indonesia selalu menjadi mata pelajaran
yang diujian-nasionalkan dala setiap jenjang pendidikan hingga tingkat SMTA.
Tragisnya, eksistensi dan besarnya alokasi jam pelajaran bahasa Indonesia di setiap
jenjang pendidikan ini belum memberikan kontribusi dan korelasi yang optimal terhadap
tumbuhnya kesadaran penggunaan bahasa secara verbal yang lemah lembut, santun,
sopan, sistematis, teratur, mudah dipahami, dan lugas.
Guru harus
mengakui bahwa pelajaran bahasa Indonesia belum mampu membangun nilai-nilai
estetika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini deringkali disebabkan oleh
kesalahan kerangka berpikir dasar guru-guru itu sendiri yang secara umum lebih
mementingkan beban kurikulum daripada memberikan bimbingan dan mengajarkan kemampuan berbahasa secara produktif. Hal ini antara
lain disebabkan pembelajaran yang dilakukan siswa dan guru masih bersifat
kurang komunikatif, dikotomis, artifisial, verbalistis, dan kognitif.
Dalam konteks
afeksi hal itu menunjukkan kurangnya prioritas menanamkan dan mendidik
nilai-nilai budi dan rasa dalam sikap estetika yang tepat dan benar. Kegagalan
menanamkan pendidikan nilai melalui pembelajaran bahasa Indonesia ini tercermin
pada perilaku berbahasa yang tidak mengindahkan nilai-nilai sopan santun.
Kegagalan ini sedikit banyak telah memberi andil pada terjadinya gejolak sosial
dalam masyarakat, perseteruan di tingkat elite serta ikut memengaruhi terjadinya
pelecehan terhadap nilai-nilai luhur yang pada mulanya dihormati bersama.
Terdapat korelasi
antara bahasa sebagai lambang yang memiliki fungsi utama sebagai alat
komunikasi antarmanusia dengan kekerasan yang merupakan perilaku manusia yang
hegemonik-destruktif. Pertama, bahwa bahasa dapat digunakan sebagai alat untuk
melakukan kekerasan sehingga mewujudkan salah satu bentuk kekerasan yang
disebut kekerasan verbal. Wujudnya terlihat dalam tindak tutur seperti memaki,
membentak, mengancam, menjelek-jelekkan,
mengusir, memfitnah, menyudutkan, mendiskriminasikan, mengintimidasi,
menakut-nakuti, memaksa, menghasut, membuat orang malu, menghina, mencemooh, dan
lain sebagainya. Kedua, bahasa yang tidak digunakan sesuai dengan fungsinya akan
menjadi pemicu timbulnya kekerasan. Fungsi hakiki bahasa adalah alat komunikasi,
alat bekerja sama, dan pewujud nilai-nilai persatuan bagi para pemakainya.[1]
Dalam percakapan,
ada dua prinsip penggunaan bahasa yang wajar-alamiah, yaitu prinsip kerja sama
dan prinsip kesopanan. Prinsip kerja sama menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan
dengan bentuk yang lugas, jelas, isinya benar, dan relevan kontekstual. Prinsip
kesopanan menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan sopan, yaitu
bijaksana, mudah diterima, murah hati, rendah hati, cocok, dan simpatik.[2]
Ajaran agama apa pun
mengatur etika dan anjuran berbahasa dengan baik dalam kehidupan. Anjuran
tersebut juga relevan dengan pepatah lama yang menyebutkan lidah atau lisan
bagaikan pedang. Jika lisan telah mengibaskan ketajaman mata pedangnya di hati,
rasa sakit dan lukanya akan berbekas untuk waktu yang lama.
Penyimpangan (deviasi)
prinsip-prinsip tersebut dapat memicu timbulnya konflik sosial yang dapat
menjurus ke tindak kekerasan. Konflik sosial yang sering terjadi belakangan ini
bisa dipicu akibat berbicara kasar, berbicara saja tanpa tindakan, berbicara
bohong, berbicara dengan keras, tidak jelas, menyakitkan, menyinggung perasaan,
merendahkan orang lain, dan tidak transparan. Dalam praktik sehari-hari,
perilaku berbahasa yang tidak mengindahkan nilai-nilai dan hakikat fungsi
bahasa seperti itu semakin banyak ditemukan di masyarakat kita saat ini.
Perilaku yang tidak terpuji ini ironisnya banyak dilakukan orang dengan dalih
merupakan bagian proses menuju masyarakat demokratis. Secara sosiologis hal ini
ni merupakan cerminan dari euforia demokrasi yang kebablasan.[3]
Perilaku berbahasa
yang buruk itu dilakukan oleh semua lapisan: golongan bawah, golongan menengah,
bahkan elite politik negeri ini. Sindir-menyindir, saling menghujat, provokasi,
dan saling mengancam tidak asing terdengar keluar dari mulut para pemimpin, dan
sering muncul dalam media televisi. "Mulutmu harimaumu", itu kata
pepatah yang masih tetap relevan. Akibat dari penggunaan bahasa yang tidak
terpuji itu kini masyarakat dan elite politik mudah sekali bermusuhan,
melakukan tindak anarkis, merusak, dan lain sebagainya. Pendek kata, kehancuran
nilai santun berbahasa dapat membawa negeri ini sangat rentan dan rawan dengan
konflik-konflik, friksi-friksi, perkelahian, pembunuhan, dan perusakan yang tak
berkesudahan. Sudah selayaknya dipikirkan peran sekolah dalam mendidik anak
didik dan masyarakat pada umumnya agar berbahasa santun sehingga tidak
berbahasa yang dapat memicu tindakan kekerasan.
Berdemonstrasi
menyampaikan tuntutan dan aspirasinya adalah hak setiap orang yang mesti
diperjuangkan. Namun penyampaian itu hendaknya disampaikan secara beretika.
Aksi-aksi jangan seakan membenarkan atau melegalkan kata-kata sekasar apa pun
dilontarkan di depan publik. Stoplah sudah kata-kata yang mengumbar bibit-bibit
kebencian, membakar amarah, memancingemosi, mendorong anarkisme, dan menebar
provokasi. Hentikan kata-kata yang hanya memancing kericuhan dan bentrokan
fisik dengan aparat atau pihak lain. Demikian juga dengan parapemimpin bangsa,
hendaknya menjunjung etika berbahasa.
Perilaku berbahasa
pemimpin bangsa dan elite politik yang kerap menimbulkan perseteruan telah
berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat di level akar rumput. Semua itu
hanya menghabiskan energi dan membuat rakyat semakin menderita. Momentum Idulfitri
yang melambangkan kesucian hati danperingatan Bulan Bahasa yang dilakukan tiap
bulan Oktober iniseyogianya dapat menggugah kesadaran berbahasa dengan sopandan
santun. Bagi dunia pendidikan, pembelajaran bahasaIndonesia, bahasa daerah, dan
bahasa lainnya diharapkan mampu menginternalisaikan dan mengartikulasikan
nilai-nilai etika berbahasa dalam perilaku verbal kita sehari-hari.
Pusat Bahasa yang
berotoritas membina dan mengembangkan bahasa hendaknya lebih berperan nyata
lagi dalam mendorong masyarakat menggunakan bahasa Indonesia yang santun.
Lembaga ini jangan hanya berkutat pada riset-riset dan pembakuan bahasa yang
hanya menjadi "menara gading" bagi masyarakatnya. Karena bahasa
mencerminkan pencitraan pribadi, jati diri bangsa,dan keselamatan hidupnya,
sejatinya pemimpin bangsa, elite politik, masyarakat, dan setiap diri berupaya
menggunakan bahasa dengan sopan, santun, dan beradab.
Bahasa mencerminkan pribadi seseorang. Jika kita slalu
menggunakan bahasa yang baik dan penuh kesantunan orang akan mencitrakan kita
sebagai pribadi yang baik dan berbudi. Karena melalui tutur kata seseorang
mampu menilai pribadi dari orang tersebut. Sementara itu jika dalam
kesehariannya kita tidak memenuhi etika berbahasa santun. Orang lain akan
mencitrakan kita sebagai pribadi yang buruk. Demikian pula dengan pentingnya
bahasa bagi suatu bangsa. Melalui bahasa suatu bangsa akan dikenal oleh
masyarakat dunia. Apakah bangsa tersebut termasuk bangsa yang ramah, sopan, dan
santun. Atau bangsa yang cinta akankebencian, permusuhan, dan perseteruan.
Bahasa adalah alat komunikasi yang sangat penting. Karena
jika tidak digunakan sesuai dengan fungsinya, bahasa dapat menjadi alat
kekerasan verbal yang terwujud dalam tutur kata seperti memaki, memfitnah,
menghasut, menghina, dan lain sebagainya. Selain itu dampak dari kekerasan
verbal tersebut akan berlanjut pada kekerasan fisik seperti permusuhan,
perkelahian, aksi anarkisme, provokasi dan sebagainya. Di Indonesia hal
tersebut sering terjadi. Bahkan perilaku tersebut sudah menjadi rahasia umum.
Seseorang dengan mudahnya mengeluarkan kata-kata yang tak pantas. Tak aneh bila
pembicaraan yang mengabaikan sopan santun menjadi pemicu terjadinya kekerasan.
Ironisnya di era reformasi semakin banyak saja terjadi
pelanggaran terhadap penggunaan bahasa yang santun. Dalam aksi demonstrasi tak
jarang terlontar kata-kata yang kasar dan tak santun. Memang masyarakat
mempunyai hak untuk mengungkapkan aspirasinya namun alangkah baiknya jika
dilakukan dengan damai tanpa menimbulkan kericuhan atau bentrok dengan aparat.
Begitu pula dengan para pemimpin. Sebagai tauladan yang memiliki pengaruh besar
bagi bangsa ini hendaknya menjunjung etika berbahasa yang santun. Pentingnya
berbahasa santun sangatlah jelas. Bahasa santun digunakan sebagai pencitraan
pribadi, jati diri bangsa, dan alat pemersatu. Pendek kata pendidikan hendaknya
berupaya mendidik siswa agar berbahasa yang santun dan beradab.
Ketidaksantuan berbahasa merupakan bentuk
pertentangan dengan kesantunan berbahasa. Jika kesantunan berbahasa berkaitan
dengan penggunaan bahasa yang baik dan sesuai dengan tata krama, ketidaksantunan
berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak baik dan tidak sesuai
dengan tata krama Ketidaksantunan berbahasa banyak ditemukan dalam kehidupan
sehari, baik secara lisan maupun tulisan.[4]
Ketidaksantunan berbahasa tidak hanya
dilakukan oleh masyarat tak berpendidikan, tetapi juga oleh masyarakat yang
berpendidikan (kaum intelektual). Banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat berpendidikan tidak santun dalam berbahasa. Bahkan, masyarakat
sekaliber anggota dewan pun banyak ditemukan menggunakan bahasa yang tidak
santun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang
sebenarnya juga tidak menjamin santun atau tidaknya seseorang dalam berbahasa.
Kata-kata seperti bodoh, pantengong, sialan, acapkali terucap dari
kalangan berpendidikan. Kata tersebut digunakan kepada lawan bicaranya,
misalnya, lawan politiknya, atasan kepada bawahannya, dosen kepada mahasiswa,
atau guru kepada murid. Pemakaian bahasa yang tidak santun tersebut tentu saja
disebabkan oleh ketidakmampuan orang tersebut mengendalikan amarahnya dan
keinginan orang tersebut untuk meluapkan rasa bencinya kepada orang lain
sehingga dirasakan adanya pembebasan dari segala bentuk dan situasi yang tidak
mengenakkan.
Memang, ada kepuasaan emosi tersendiri
ketika seseorang menggunakan bahasa yang tidak santun. Namun, menggunakan
bahasa yang tidak santun dapat menimbulkan konsekuensi yang serius bagi
penggunanya. Sebuah hadih maja Aceh menyebutkan bahwa konsekuensi
ketidaksantunan dalam berbahasa adalah kebinasaan.
Kebinasaan yang dimaksud dalam tersebut
berkaitan dengan beberapa hal. Pertama, ketidaksantunan dalam berbahasa memberikan konsekuensi berupa rasa
benci terhadap orang yang tidak santun berbahasa. Rasa benci dapat
terjadi secara individu dan dapat pula terjadi secara kelompok. Munculnya rasa
benci tersebut akibat rasa sakit hati pihak yang menjadi sasaran
ketidaksantunan berbahasa. Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan kepada
lawan bicaranya, Bodoh sekali kamu, kayak orang ndak ngerti undang-undang
saja, lawan bicaranya tentu akan merespons dengan rasa benci yang sangat
mendalam.. Artinya, sikap ramah
seseorang akan berubah menjadi sifat benci jika telah sakit hati. Rasa sakit
hati yang muncul, tentu saja akan disertai oleh dendam. Dendam yang dimaksud di
sini berarti reaksi balik dari orang yang menjadi sasaran ketidaksantunan
berbahasa. Muncul rasa dendam dari pihak yang menjadi sasaran ketidaksantunan
berbahasa disebabkan oleh ketidaksenangannya terhadap ketidaksantunan itu. Rasa
dendam ini wajar saja terjadi karena manusia merupakan makhluk yang sangat
menjunjung tinggi penghormatan.
Kedua, pihak yang tidak memiliki kesantunan dalam
berbahasa sesungguhnya hanyalah memperlihatkan aib sendiri. Dengan kata lain,
ketidaksantunan dalam berbahasa hanya akan menjadi boomerang bagi dirinya
sendiri. Seorang pendidik yang mengucapkan kata-kata seperti tolol atau
bodoh kepada anak didiknya, sebenarnya telah memperlihatkan aibnya
sendiri kepada anak didiknya. Ia telah memperlihatkan kepada peserta didiknya
bahwa akhlaknya tidak baik. Ia akan dianggap oleh siswa sebagai pendidik yang
suka mencaci dan memaki. Akibatnya, sang pendidik itu tidak dihormati oleh
peserta didiknya. Memang, pendidik yang suka mencaci dan memaki akan ditakuti
oleh peserta didiknya, tetapi rasa takut itu bukanlah pertanda bahwa peserta
didik menghormatinya. Sang pendidik juga telah memperlihatkan kepada peserta
didik bahwa ia adalah orang yang ‘bodoh’ karena tidak menggunakan logikanya
bahwa jika peserta didik sudah pintar, mereka tentu tidak perlu lagi belajar.
Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah seorang pendidik berbahasa santun karena
ia merupakan sosok yang digugu dan ditiru oleh peserta didik.
Sudah sepatutnya pula seorang pendidik
berbahasa santun agar dia dimuliakan oleh peserta didiknya. Kasus
ketidaksantunan berbahasa bukan hanya dialami oleh sang pendidik, melainkan
juga dialami oleh semua orang seperti pejabat pemerintah yang notabene-nya
merupakan pembawa aspirasi rakyat. Pejabat pemerintah yang sering berbahasa
tidak santun akan menerima konsekuensi berupa dibencinya mereka oleh rakyat. Pejabat
pemerintah yang sering berbahasa tidak santun akan dianggap sebagai pejabat
yang berpendidikan, tetapi tidak berakhlak. Pejabat seperti ini hanya akan
menerima upatan, cacian, dan makian dari rakyatnya akibat ketidaksenangan
rakyat. Sungguh tak layak pejabat pemerintah berbahasa tidak santun karena ia
merupakan pemimpin yang seharusnya menjadi contoh bagi rakyatnya. Tidak ada
satu pun rakyat mendambakan pejabat yang suka berbahasa tidak santun, tetapi
sebaliknya, rakyat mendambakan pejabat yang santun, berbudi pekerti yang baik
dan berakhlak mulia.
Karena besarnya konsekuensi yang akan
diterima oleh orang yang tidak santun dalam berbahasa, sudah sepatutnyalah
ketidaksantunan dalam berbahasa ini dihindari semaksimal mungkin. Sesungguhnya
penggunaan bahasa yang santun mencerminkan keluhuran budi pekerti seseorang.
Seorang pendidik yang berbahasa santun mencerminkan bahwa ia adalah orang yang
berperilaku mulia. Seorang pemimpin yang berbahasa santun mencerminkan bahwa ia
adalah pemimpin yang berakhlak mulia dan layak untuk diangkat menjadi pemimpin.
Mengajarkan sesuatu atau mengkritik sesuatu dengan bahasa yang tidak santun
sesungguhnya hanya akan menimbulkan efek pertengkaran yang berkepanjangan dan
tentu saja tidak akan menyelesaikan masalah.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1 Mengapa santun bahasa diperlukan dalam
berkomunikasi antarmanusia?
1.2.2 Bagaimanakah kriteria santun bahasa yang
berlaku dalam masyarakat Indonesia?
1.2.3 Bagaimanakah pola didik santun bahasa yang
tepat dalam kondisi masyarakat Indonesia seperti sekarang?
1.3 Tujuan
1.3.1 Memahami perlunya santun bahasa dalam
berkomunikasi antarmanusia.
1.3.2 Mengetahui kriteria santun bahasa dalam
masyarakat Indonesia?
1.3.3 Menemukan alternatif solusi pola didik
yang tepat dalam masyarakat Indonesia bagi siswa sekaligus generasi muda
bangsa..
2.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Santun Bahasa
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia kata 'santun' (adj.) berarti 1 halus dan baik (budi bahasanya, tingkah
lakunya); sabar dan tenang; sopan; 2 penuh rasa belas kasihan; suka
menolong; me·nyan·tun v 1 mengasih; mengasihani; menaruh
belas kasihan (kpd): membantu serta - fakir miskin adalah kewajiban kita
semua; 2 menyokong (meringankan) kesusahan orang; menolong; 3
memberi bantuan: tujuan mendirikan yayasan itu ialah untuk - anak yatim
piatu; me·nyan·tuni v menyantun; memberi ganti rugi; san·tun·an
n 1 uang yg diberikan sbg pengganti kerugian krn kecelakaan,
kematian, dsb: keluarga korban gempa menerima - dr pemerintah daerah; 2
bantuan: - yatim;
pe·nyan·tun n 1 orang yg baik budi bahasa dan tingkah lakunya; orang yg sopan; 2 orang yg suka menaruh belas kasihan; 3 orang yg suka menolong (membantu, memperhatikan kepentingan orang lain, dsb); 4 pelindung dan pengarah suatu perguruan tinggi: dewan - Universitas Mataram; pe·nyan·tun·an n proses, cara, perbuatan menyantun; pemberian pertolongan dsb: - thd anak-anak cacat adalah suatu pekerjaan mulia.
pe·nyan·tun n 1 orang yg baik budi bahasa dan tingkah lakunya; orang yg sopan; 2 orang yg suka menaruh belas kasihan; 3 orang yg suka menolong (membantu, memperhatikan kepentingan orang lain, dsb); 4 pelindung dan pengarah suatu perguruan tinggi: dewan - Universitas Mataram; pe·nyan·tun·an n proses, cara, perbuatan menyantun; pemberian pertolongan dsb: - thd anak-anak cacat adalah suatu pekerjaan mulia.
Dalam Bahasa
Indonesia, sopan dan santun seringkali disandingkan dalam penggunaannya. Dalam
penerapannya sopan dan santun ini acapkali disamakan artinya sebagai perilaku
yang sesuai dengan adat dimasyarakat. namun sebenarnya sopan dan santun yang
dalam konteks ini disebut sebagai kesopanan dan kesantunan itu berbeda.
Kesantunan merupakan bagian dari kesopanan, jadi sesuatu yang sopan sudah tentu
santun tapi sesuatu yang santun belum tentu sopan. Maka dapat juga diartikan
bahwa penuturan yang santun mematuhi maksim kesopanan. Disebut maksim kesopanan
karena kesantunan berbahasa sudah termasuk didalamnya. Maka pada pembahasan
selanjutnya maksim kesopanan akan diperkecil menjadi teori kesantunan, yang
kemudian kesopanan akan dibahas pada akhir pembahasan.
2.2 Kriteria Normatif Santun Bahasa
2.1 Teori-teori
Kesantunan
Brown dan Levinson
(1978) dalam Chaer (2010) mengatakan teori kesantunan berbahasa itu berkisar
atas nosi muka (face). Muka tersebut
dibagi dua, yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif itu mengacu pada
citra diri setiap orang yang rasional yang ingin dihargai dan membiarkannya
bebas dari keharusan melakukan sesuatu. Muka positif ialah mengacu pada setiap
diri seseorang yang rasional, yang berkeinginan agar apa yang dilakukan atau
dimilikinya diakui orang lain sebagai sesuatu yang baik.[5]
Geoffrey Leech
(1983) dalam Chaer (2010) menerangkan bahwa maksim merupakan
kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur
tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap
tindakan dan ucapan lawan tuturnya.[6]
Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja
sama dan prinsip kesopanan.
Maksim-maksim
tersebut menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan
dan menghindari ujaran yang tidak sopan. Maksim-maksim ini dimasukkan ke dalam
kategori prinsip kesopanan.
Leech menjelaskan
teori kesantunan dalam enam maksim, yaitu
- Maksim Kebijaksanaan
Sedapat mungkin
kita membuatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, dan keuntungan
orang lain sebesar mungkin. Gagasan dasar
maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta
pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan
bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan
bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan
akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang
berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap
dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur.
Rasa sakit hati dalam sebuah pertuturan juga dapat diminimalisasi dengan maksim
ini.
- Maksim Penerimaan
Pengguna bahasa
bisa mengurangi keuntungan diri sendiri dan menambahi pengorbanan
diri sendiri. Jika setiap orang melaksanakan inti
pokok maksim kedermawanan dalam ucapan dan perbuatan dalam pergaulan
sehari-hari, maka kedengakian, iri hati, sakit hati antara sesama dapat
terhindar. Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan
diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan
terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
- Maksim Kemurahan
Maksim ini
menuntut setiap penutur untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan
meminimalkan rasa merendahkan orang lain.
- Maksim Kesederhanaan atau Kerendahan Hati
Petutur bisa juga mengurangi pujian pada
diri sendiri, tambahi cacian pada diri sendiri. Dalam maksim
kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat
bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri.
Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan
bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat
bahasa dan budaya Indonesia, keserderhanaan dan kerendahan hati banyak
digunakan sebagai paremeter penilaian kesantunan seseorang.
- Maksim Kecocokan
Maksud kecocokan
adalah upaya menguurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang
lain. Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Maksim
permufakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan. Di dalam maksim
ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina
kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat
kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan
bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun.
- Maksim Simpatisan
Tindakan ini
merupakan upaya untuk mengurangi antipasti antara diri sendiri
dengan orang lain. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. Di dalam maksim
kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap
simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipasti terhadap
salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun.
Masyarakat tutur Indonesia, sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap
orang lain ini di dalam komunikasi kesehariaanya. Orang yang bersikap antipasi
terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan
dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat.
Pada maksim
kemurahan diganti menjadi maksim penghargaan. Di dalam maksim
penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam
bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan
maksim ini, diharapkan agar para perserta pertuturan tidak saling mengejek,
saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Perserta tutur yang sering
mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai
orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan
tidakan tidak menghargai orang lain. Karena merupakan perbuatan tidak baik,
perbuatan itu harus dihindari dalam pergaulan sesungguhnya. Yang pada
pengertiannya kemurahan dan penghargaan dikatakan saling menyerupai.
2.2 Skala Kesantunan
Kesantunan bahasa
dapat diklasifikasi berdasarkan skala kesantunannya. Skala kesantuan merupakan
ukuran pembanding kesantunan bahasa yang digunakan dalam suatu komunitas atau
pengguna bahasa tertentu. Berikut ini skala kesantunan bahasa dari beberapa
ahli.[7]
Skala Kesantunan
menurut Leech
(1983) adalah sebagai berikut:
- Skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale) menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri, si mitra tutur akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
- Skala pilihan (Optionality Scale) menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur. Semakin pentuturanitu memungkinkan penutur atau mitra tutur mementukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun.
- Skala ketidaklangsungan (Indirectness Scale) menunjuk kepada peringkat langsung atau tudak langsugnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin sanutunlah tuturan itu.
- Skala keotoritasan (Authority Scale) menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebakinya, semakin dekat jarak peringkat status sosial diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
- Skala jarak sosial (Social Distance Scale) menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam bsebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial dia antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu.
Skala
Kesantunan menurut Brown
dan Levinson (1987)
sebagai berikut:
- Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokltural. Berkenaan dengan perbedaan umur antara penutur dan mitra tutur, lazimnya didapatkan bahwa semakin tua umur seseorang, peringkat kesantunan dalam bertutur akan semakin tinggi. Sebaliknya, orang yang masih berusia muda cenderung memiliki peringkat yang rendah di dalam kegiatan bertutur. Orang yang berjenis kelamin wanita, cenderung memiliki kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria. Hal demikian disebabkan oleh kenyataan bahwa kaum wanita cenderung berkenaan dengan sesuatu yang bernili estetika dalam keseharian hidupnya. Sebaliknya, pria cenderung jauh dari hal-hal itu karena, biasanya ia banyak berkenaan dengan kerja dan pemakaian logika dalam kegiatan keseharian hidupnya. Latar belakang sosiokltural seseorang memiliki peran sangat besar dalam menentukan peringkat kesantunan bertutur yang dimilikinya. Orang yang memiliki jabatan tertentu didalam masyarakat, cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang seperti petani, pedagang, buruh bangunan, pembantu rumah tangga dsb. Demikian pula orang-orang kota cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat desa.
- Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur atau sering kali disebut dengan peringkat kekuasaan (power writing) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Contoh: di dalam ruang periksa sebuah rumah sakit, seorang dokter memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien. Demikian pula di dalam kelas seorang dosen memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang mahasiswa.
- Skala peringkat tindak tutur (rank rating), didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya. Contoh: dalam situasi yang sangat khusus, bertemu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertemu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesopanan yang berlaku pada masysrakat tutur itu. Namun demikian, hal yang sama akan dianggap sanagt wajar dalam situasi yang berbeda. Misalnya, pada saat terjadi kerusuhan atau kebakaran orang berada di rumah orang lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan.
Skala Kesantunan
menurut Robin Lakoff (1973) adalah sebagai berikut:
- Skala formalis (formality scale) yaitu skala yang dinyatakan agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dalam kegiatan bertutur. Tuturan yang digunakan tudak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh. Didalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya antara yang satu dengan yang lainnya.
- Skala ketidaktegasan (hesitancy scale) yaitu skala yang menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur. Pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua beah pihak. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku didklam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun.
- Peringkat kesekawanan atau atau kesamaan (equality scale) menunjukkan agar bersifat santun. Orang harus bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak yang alin. Agar tercapai maksud demikian, penutur haruslah menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai.
2.4 Penyebab
Ketidaksantunan
Ketidaksantunan terjadi ketika penuturnya tidak mampu
mengendalikan apa yang dituturkannya sehingga bahasa yang ia gunakan menjadi
tidak santun. Pranowo (2009) menjelaskan ada lima penyebab ketidaksantunan,
yaitu :
a. Kritik secara
langsung dengan kata-kata kasar
Kritik langsung
dengan kata-kata kasar menyebabkan sebuah penuturan jauh dari skala peringkat
kesantunan. Seperti pada kata “payah” sebaiknya diganti dengan “belum
bekerja maksimal.
b. Dorongan rasa
emosi penutur
Pada sebuah
penuturan hendaknya penutur menjauhkan dari rasa emosi sehingga berkesan bahwa
penutur marah kepada lawan tuturnya.
c. Protektif terhadap
pendapat
Protektif terhadap
pendapat sendiri dilakukan agar tuturan lawan tutur tidak dipercaya oleh pihak
lain.
d. Sengaja menuduh
lawan tutur
Tuduhan yang
dilayangkan kepada lawan tutur hanya berdasarkan kecurigaanya belaka tanpa
disertai bukti yang nyata, maka akan membut tuturan menadi tidak santun.
e. Sengaja memojokan
mitra tutur
Penutur biasanya
melakukan ini agar lawan tutur menjadi tidak berdaya atas apa yang
dikatakan penutur.
Maka penyebab dari
kelima hal di atas adalah penutur memang tidak mengetahui kaidah kesantunan
berbahasa, penutur sulit meninggalkan kebiasaan lama akibat hasil budaya dan
sifat bawaan atau karakter penutur yang memang tidak santun.
2.5 Kesopanan
Pada awal
pembahasan telah dikemukakan mengapa pada pembahasan sebelumnya digunakan teori
kesantunan bukan kesopanan. Pada dasarnya prinsip dalam pragmatik ini tetap
dinamakan maksim kesopanan, karena jika digunakan maksim kesantunan, maksim
kesantunan tidak bisa menjawab semua kaidah-kaidah dalam bertutur. Maka maksim
kesopanan dirasa cukup melingkupi kata kesantunan dan kesopanan itu sendiri.
Sederhananya adalah tuturan yang benar adalah yang memaatuhi maksim kerjasama,
tuturan yang santun adalah tuturan yang memenuhi maksim kesopanan yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Chaer (2010)
menjelaskan tuturan yang benar berkaitan dengan masalah isi penuturan, tuturan
yang santun berkaitan dengan bahasa yang digunakan dan tuturan yang sopan
berkaitan dengan :
a.
Topik tuturan, topik tuturan bersumber
darimana saja sesuai masalah dimasyarakat. Hanya saja ada topic yang dianggap
tidak sopan dalam penuturan. Misalnya mengenai usia, yang tidak boleh
ditanyakan pada seorang wanita (yang bukan anak-anak dan belum nenek-nenek),
meskipun dengan bahasa yang santun.
b.
Konteks situasi ini berkenaan dengan
masalah tempat, waktu, dan suasana psikologis. Contohnya seperti berbicara
dengan suara keras di Rumah Sakit.
c.
Jarak hubungan sosial antara penutur
dan lawan tutur. Hal ini berkaitan dengan seberapa dekat hubungan penutur dan
lawan tuturnya. Misalnya, seperti tidak sopan jika menanyakan
masalah pribadi lawan tutur pada saat awal perkenalan.
Dengan
demikian kesantunan dan kesopanan berbahasa amat erta kaitannya dengan kaidah kebahasan sera selaras dengan
norma sosial dan budaya yang berlaku
dalam masyarakat atau komunitas pengguna bahasa. Dalam konteks bahasa
Indonesia, hal ini seseuai dengan kaidah kebahasaan serta norma sosial dan
budaya dalam masyarakat Indonesia. Maka, konsep berbahasa dengan baik dan benar
amat tepat diterapkan di Indonesia.
2.6
Implikasi dalam Pembelajaran di Sekolah
Sebagai pengajar di lembaga pendidikan, seorang guru
harus tampil profesional terutama dalam berbahasa. Bahasa adalah hidup itu
sendiri. Barangkali entitas yang paling mencirikan kehidupan manusia dan bahkan
satwa ialah bahasa. Bahasa harus betul-betul dikuasai bagi siapa saja yang
hidup, termasuk para guru.
Satu dari sekian kemustahilan dalam hidup
umat manusia ialah melepaskan diri dari bahasa. Semakin keras upaya memikirkan
kapan, bagaimana dan dimana orang tidak melibatkan bahasa, semakin kuat pula
bahasa terlibat. Posisi bahasa manusia sangat berbeda dengan bahasa satwa.
Apalagi jika manusia diidentikkan dengan gelar yang bermakna bentuk tegak dan
kesadaran subyektif sempurna.
Kesempurnaan dalam bahasa guru dinyatakan
dengan penguasaan tiga tahapan bicara. Guru harus paham dengan apa yang
disampaikan (ide), bagaimana mengungkapkan (encoding) dan
mengungkapkannya (sending). Dengan modal demikian, maka bahasa yang
disampaikan di kelas akan mudah dipahami oleh para siswanya sehingga siswa akan mudah untuk memahami bahasa gurunya.
Keteladanan guru perlu menggunakan bahasa
santun dalam mengajar. Kalau gurunya santun dalam berbahasa, maka murid akan
menirunya. Jadi bahasa santun merupakan wujud sumbangsih guru membentuk
karakter siswa dalam berbahasa di tengah masyarakat.
Kompetensi guru dalam aspek pedagogis
sangat membutuhkan penguasaan bahasa pendidikan yang bagus. Kalau guru sudah
salah dalam menggunakan bahasa, sudah barang tentu hasil pendidikan akan
menjadi kurang bagus. Begitu halnya dengan kompetensi sosial dan kepribadian
sangat butuh penunjang bahasa santun tersebut.
Guru perlu membiasakan siswa berbicara
secara santun dalam pembelajarannya. Hal ini akan membiasakan dan sekaligus
mendidik siswa untuk berbicara dengan baik dan benar. Pada umumnya orang tidak
menyadari bahwa menggunakan bahasa adalah suatu kemahiran yang kompleks.
Penggunaan bahasa terasa wajar karena tanpa diajarkan siapa pun, seorang bayi
akan tumbuh besar bersama-sama dengan pertumbuhan bahasanya. Dari umur satu
hingga satu setengah tahun, bayi pada awalnya mengeluarkan bentuk-bentuk bahasa
yang kita kenal sebagai cooing ‘dekutan’, babbling
‘celotehan’,kemudian berkembang menjadi Ujaran Satu Kata (USK).Ujaran Satu Kata
(USK) ini tumbuh menjadi Ujaran Dua Kata (UDK), dan akhirnya membentuk Pivot
Grammar ‘Tata Bahasa Anak’ dan akhirnya menjadi kalimat kompleks ketika
umurnya menjelang empat atau lima tahun.[8]
Bahasa mempunyai
banyak fungsi dalam kehidupan manusia. Michael Halliday menguraikan secara
garis besar tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, regulatoris,
representasional, interaksional, personal, heuristik, dan imajinataif. Seorang
pelajar bisa saja mengunakan beberapa fungsi tersebut dalam satu kalimat atau
percakapan saja dalam proses pembelajaran bahasa.
Fungsi utama
bahasa adalah sebagai alat komunikasi.
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
diarahkan agar siswa terampil berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan.
Siswa diharapkan menguasai lima keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan,
berbicara, membaca, menulis, dan apresiasi sastra. Pembelajaran bahasa selain
untuk meningkatkan keterampilan berbahasa, juga untuk meningkatkan kemampuan
berpikir, mengungkapkan gagasan, perasaan, pendapat, persetujuan, keinginan,
penyampaian informasi tentang suatu peristiwa dan kemampuan untuk memperluas
wawasan.
Tujuan kita berkomunikasi kepada lawan bicara adalah untuk menyampaikan
pesan dan menjalin hubungan sosial (social relationship). Dalam
penyampian pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal baik lisan
atau tulis, atau non-verbal (bahasa isyarat) yang dipahami kedua
belah pihak; pembicara dan lawan bicara. Sedangkan tujuan komunikasi untuk
menjalin hubungan sosial dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi.
Misalnya, dengan menggunakan ungkapan kesopanan (politeness), ungkapan
implisit (indirectness), basa-basi (lipsservice) dan penghalusan
istilah (eufemisme).
Strategi tersebut dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar proses
komunikasi berjalan baik dalam arti pesan tersampaikan dengan tanpa merusak
hubungan sosial diantara keduanya. Dengan berlaku demikian setelah proses
komunikasi selesai antara pembicara dan lawan bicara mempunyai kesan yang
mendalam, misalnya, kesan simpatik, sopan, ramah, dan santun. Namun demikian
untuk mencapai dua tujuan komunikasi tersebut ternyata tidak mudah. Bahkan
seringkali prinsip-prinsip komunikasi sering berbenturan dengan prinsip-prinsip
kesopanan dalam berbahasa. Disatu sisi kita diharuskan untuk mematuhi prinsi
komunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman, tetapi disisi lain kita harus
melanggar prinsip-prinsip tersebut, dengan berbasa-basi, untuk menjaga hubungan
sosial.
Berkaitan dengan
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, dalam kurikulum 2006 (KTSP),
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
siswa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara
lisan maupun tertulis. Standar kompetensi Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan
kualifikasi minimal peserta didik yang mengagambarkan penguasaan pengetahuan,
keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia
sehingga mampu sampai pada tataran kreatif dan produktif dalam berbahasa
Indonesia sesuai dengan kebutuhan, jenjang, maupun jenis lembaga pendidikannya.
Kenyataan di
lapangan secara umum belum mencapai sasaran yang sesuai dengan fokus tujuan
pendidikan. Secara praktis kita bisa amati bahasa siswa ketika berbicara dengan temannya, dengan guru atau dengan
orang yang lebih tua. Konteks sosial demikian menonjol. Bahasa gaul mendominasi
gaya bahasa siswa. Bahasa SMS siswa seringkali mencerminkan kekurangsopanan dan
kekurangsantunan berbahasanya. Begitu juga ketika berbicara dengan guru atau
orang yang lebih tua di lingkungan sekolah, karyawan TU misalnya, siswa sering di
luar kontrol menggunakan bahasa gaul yang pasti membuat jengah orang yang mendengar
dan paham perilaku bahasa yang baik dan santun, terutama bagi guru bahasa
Indonesia. Namun sebaliknya, guru pun kadang tercetus bahasa-bahasa kasar
ketika dalam keadaan emosi menjagar di kelas.
Yang sering ditemukan di kalangan bahasa siswa adalah pilihan kata atau istilah yang mempunyai makna
berhubungan dengan nilai kesantunan dalam berkomunikasi dengan guru. Hal itu
tentulah berbeda adalah kosakata bahasa biasa atau wajar, yaitu kosakata bahasa
yang digunakan siswa dalam berkomunikasi dengan siswa yang lain. Kosakata
bahasa `tidak santun` dalam komunikasi siswa biasanya terjadi bila siswa
berkomunikasi justru dengan teman akrabnya dalam konteks pergaulan dan situasi
tidak resmi.
Dalam konteks demikian bisa terjadi perbedaan persepsi
tentang kesantunan berbahasa di kalangan siswa, guru, dan karyawan. Pandangan
siswa terhadap kesantunan berbahasa lebih ditekankan kepada segi pragmatis,
sedangkan menurut guru dan karyawan kesantunan berbahasa lebih cenderung
normatif (berkaitan dengan nilai-nilai norma)
antara lain kehalusan, kesopanan, kepantasan, penghargaan, kebenaran,
kejujuran, keadilan, kebaikan, kelurusan, kekhidmatan, optimisme, keindahan,
kesenangan, kelogisan, kefasihan, keterangan, ketepatan, keselarasan, dan menyentuh
hati, mengesankan, tenang, efektif, lunak, dermawan, lemah lembut, dan rendah
hati, dan sikap-sikap lain yang mencerminkan nilai-nilai pribadi dan budaya
tinggi.
Berdasarkan hal
itu amat jelas bahwa peran sekolah dan guru amat penting dalam memibimbing,
mendidik, dan melatih siswa secara rutin untuk bersopan dan bersantun bahasa. Guru
adalah pemegang kunci dan sekaligus ujung tombak pencapaian misi pembaruan
pendidikan. Dalam konteks demikian guru dapat mengondisikan siswa agar tertur
dan terarah dalam berbahasa. Maka gurulah yang mengatur, mengarahkan, dan
menciptakan suasana kegiatan belajar mengajar
yang tepat untuk mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi pendidikan
nasional. Oleh karena itu, secara tidak langsung guru dituntut untuk lebih
professional, inovatif, kreatif, perspektif, prospektif, dan proaktif dalam menjalankan tugas
profesinya. Keteladanan perilaku
dan sopan-santun berbahasa amat memengaruhi karakter generasi muda Indonesia
dan santun bahasanya.
Peribahasa klasik
mengatakan ”Guru kencing berdiri , murid
kencing berlari”., Apa pun yang dilakukan dan diucapkan guru selalu dijadikan
contoh oleh murid dalam kesehariannya. Murid akan meniru dan meneladaninya.
Beberapa metode pendidikan bisa diterapkan dalam hal membiasakan anak berperilaku
santun dalam berbahasa. Ada yang mengatakan lima langkah metode dalam mendidik
anak-siswa, yaitu pertama adalah metode keteladanan, kedua metode adat
kebiasaan atau pembiasaan, ketiga pendidikan dengan metode nasihat, keempat
metode pengawasan, kelima dengan menggunakan metode hukuman.
Men jadi tanggung
jawab semua konstituen sekolah untuk mengajari dan meneladani siswa-siswinya untuk
berbahasa Indonesia yang sopan, santun, dan beradab yang mencerminkan
kepribadian dalam berbagai dimensi serta berfungsi memelihara serta membangun
kerja sama maupun kerukunan sesama. Secara didaktis hal ini disistemisasikan
dalam proses pembelajaran sehari-hari. Semua konstituen sekolah memberi sikap
apresiatif, penghargaan yang wajar pada bahasa dan budaya. Selin itu, pelajaran
bahasa menggunakan pendekatan komunikatif, dengan tetap menekankan perlunya
kesopanan berbahasa. Ujung-ujungnya, semua konstituen sekolah terkondisi dan
disiplin untuk berbahasa dengan santun dan sopan.
Imam Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumiddin menjelaskan bahwa kebiasaan
anak berperangai baik atau jahat sesuai kecenderungan dan nalurinya. Ia
mengatakan ; “Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata yang sangat mahal harganya.
Jika dibiasakan pada kajahatan dan dibiarkan seperti dibiarkannya binatang, ia
akan celaka dan binasa. Sedang memeliharanya adalah dengan upaya pendidikan dan
mengajari akhlak yang baik.”[9]
Guru adalah orang tua siswa di
sekolah. Bila guru memberi contoh prilaku berbahasa secara santun, membiasakannya
dalam keseharian siswa, menasihati siswa bila berlaku tidak santun terutama
dalam prilaku berbahasa, mengawasi kegiatan tersebut bersama seluruh civitas
sekolah, dan memberi hukuman yang mendidik kepada siswa yang melanggar
kebiasaan berbahasa secara santun di sekolah, maka siswa lama kelamaan akan
memiliki kebiasaan berbahasa secara santun dalam kesehariannya. Bukan hanya di
sekolah tapi dalam seluruh kehidupan siswa karena hal tersebut sudah menjadi
tabiat yang mendarah daging pada diri siswa.Menjadi akhlak dalam kesehariannya.
Guru adalah pendidik anak
bangsa. Guru perlu membiasakan berbicara secara santun pada semua orang
terutama pada siswa. Dengan demikian tidak ada lagi bahasa yang kasar terucap
oleh guru meskipun dalam keadaan yang sangat emosional. Bagi guru berperilaku
bahasa secara santun merupakan wujud pribadi mulia yang bernilai keteladanan
berharga bagi murid-muridnya.
3
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.1.1 Masyarakat Indonesia yang kaya akan bahasa merupakan
masyarakat yang berbudaya tinggi sebagai perwujudan nilai rasa hakikat
manusianya sehingga kesantuan dan kesopanan merupakan nilai luhur yang sudah
membudaya yang perlu dilestarikan.
3.1.2 Perkembangan bahasa akibat zaman globalisasi yang tidak
bisa dilawan bisa disikapi secara bijak dengan menekankan sikap keteladanan
dari para to, guru, dan keluarga. Untuk itu, sekolah memegang peran penting
dalam pembiasaan bahasa yang sopan dan santun.
3.1.3 Bahasa guru memiliki peran penting dalam memberikan
keteladanan berbahasa sesuai dengan kaidah, nilai rasa yang tepat, dan sesuai
dengan situasi dan kondisi.
3.2 Saran
3.2.1 Nilai luhur sebagai perwujudan masyarakat yang berbudi
luhur dn berbudaya tinggi hendaknya dipahami oleh semua konstituen keluarga,
sekolah, dan masyarakat, serta diimplemetasikan dalam pikiran, perkataan,
perbuatan, dan sikap saat berbahasa dalam kehidupan sehari-hari.
3.2.2 Sekolah hendaknya membiasakan berbahasa dengan sopan dan
santun sehingga selaras dengan semboyan berbahasa dengan baik dan benar. Di
sini semua konstituen sekolah hendaknya menyadari bahwa tidak semua kebiasaan
berbahasa yang ada sekarang ini benar. Maka, biasakanlah dengan yang benar.
3.2.3 Tekad dan niat guru untuk menjadi teladan siswa-siswinya
dalam berbahasa harus dimulai dari diri sendiri dengan membiasakan dari hal-hal
yang praktis-pragmatis-komunikatif sehari-hari tatkala mengajar di kelas. Semua
akan berproses dan memakan waktu, dan akan terasa hasilnya di kemudian hari.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan
Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik,
Perkenalan Awal. Jkarta: PT Rineka Cipta.
Dardjowidjoyo,
Soenjono.2008. Psikolinguistik, Pengantar
Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Unika Atma Jaya.
Gunarwan, Asim.
1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di Beberapa Etnik
di Jakarta”, dalam Kaswanti Purwo (ed.) Bahasa
dan Budaya. Jakarta: PELBA 5.
Hastuti P.H., Sri.
1997. Strategi Belajar Mengajar Bahasa
Indonesia. Depdiknas: Jakarta.
Pranowo, dkk.
2004. “Kesantunan Berbahasa Para Politisi di Media Massa”. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
Safriandi.
2008. Mari Berbahasa Santun. Dalam http://pondokbahasa.wordpress.com/2008/11/23/kesantunan-berbahasa-indonesia-sebagai-pembentuk-kepribadian-bangsa, diakses 27 Maret 2012, pukul 14.27 WIB.
Sofiah, Isti. 2010. Etika
Berbahasa Santun. Dalam http://iswavy.blogspot.com/2010/01/etika-bahasa-santun.html,
diakses 5 Mei 2012, pukul 30.45 WIB.
Wahab, Abdul.
1995. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa
dan Sastra. Surabaya : Airlangga University Press.
[1] Pranowo, dkk.
2004. “Kesantunan Berbahasa Para Politisi di Media Massa”. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Isti Sofiah dalam Etika Berbahasa Santun, http://iswavy.blogspot.com/2010/01/etika-bahasa-santun.html, diakses 5 Mei 2012, pukul 30.45 WIB
[5] Sosiolinguistik, Perkenalan Awal karya
Abdul Chaer dan Leoni Agustina, Penerbit Ribka Cipta, Jakarta, 2010.
[6] Pembelajaran Santun Bahasa Melalui Pendekatan Pargmatik karya Pranowo dalam http://pondokbahasa.wordpress.com/2008/11/23/kesantunan-berbahasa-indonesia-sebagai-pembentuk-kepribadian-bangsa, diakses 27
Maret 2012, pukul 14.27 WIB.
[7] Ibid.
[8] Psikolinguitik karya Soenjono Dardjowidjojo,
cetakan keempat, dicetak oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2010.
[9] Safriandi. 2008. Mari Berbahasa Santun. Dalam http://pondokbahasa.wordpress.com/2008/11/23/kesantunan-berbahasa-indonesia-sebagai-pembentuk-kepribadian-bangsa, diakses 27 Maret 2012, pukul 14.27 WIB.