Senin, 10 Agustus 2015

BERBAHASA SANTUN BERMULA DARI KETELADANAN






1.      PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Sebagai negara yang berbhineka Indonesia adalah bangsa yang beragam dalam konteks penggunaan bahasanya. Lebih dari ribuan bahasa dimiliki bangsa ini dan mayoritas tumbuh subur dalam komunitas penggunanya. Keberagaman yang kompleks ini selaras dengan keberagaman kehidupan berbahasa. Bahasa sebagai alat utama dalam melakukan komunikasi antarsesama menjadi kekuatan penting dalam berbagai macam kegiatan. Dalam dunia pendidikan bahasa menjadi faktor utama karena bahasa merupakan media pengantar. Keanekaragaman bahasa yang ada beserta dialek dan variasi berbahasa lainnya menimbulkan ragam tindak tutur menjadi bervariasi dalam aneka warna budaya. Kevariasian dan keberwarnaan bahasa saat ini secara kultural mencerminkan sikap kesantunan dan ketidaksantunan penggunaan bahasa, misalnya penggunaan kosa kata dalam kaitannya dengan tempat ataupun lawan bicara.
Bahasa merupakan media amat penting dalam berkomunikasi. Bentuk materi informasi apa pun yang disampaikan dari orang ke orang lain memerlukan bahasa sebab bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi lengkap hanya dimiliki manusia. Di Indonesia kebutuhan dunia komunikasi terhadap bahasa Indonesia telah memungkinkan bahasa tersebut mengalami perkembangan yang cukup signifikan.
Dalam perkembangannya bahasa Indonesia sebagai media  komunikasi utama bangsa Indonesia semakin menunjukkan kematangan dan kemantapannya. Hal ini selaras dengan perjalanan tingkat budaya massyarakat Indonesia yang sangat menjunjung kesopanan dan kesantunan, termasuk dalam berbahasa. Perihal yang ingin diutarakan tidak hanya terkait dengan pemilihan kata, tetapi juga mencakup budaya atau cara penyampaian. Pemilihan kata yang dirasakan oleh seseorang bermakna positf dan tepat apabila disampaikan dengan cara yang kurang tepat akan dianggap tidak sopan dan tidak santun.
Nilai kesantunan berkaitan dengan konvensi masyarakat atau komunitas tertentu berada. Secara sosial konvensi tersebut disepakati sehingga menjadi norma yang berlaku. Setiap anggota masyarakat percaya bahwa kesantunan yang diterapkan mencerminkan tingkat budaya masyarakat, termasuk kesantunan berbahasa. Di samping itu pada umumnya setiap masyarakat memiliki hierarki sosial yang dikenakan pada kelompok-kelompok anggota mereka. Hal ini terjadi sebagai cerminan mereka telah menentukan penilaian terhadap hal tertentu, misalnya, antara tua-muda, majikan -buruh, guru-murid, kaya-miskin, dan status lainnya.
Faktor konteks situasi dan kondisi dapat juga perlunya diterapkan kesantunan. Suasana formal atau resmi sangat menekankan kesantunan ini. Penilaian yang diberikan kepada hierarki sosial merupakan penilaian emotif yang diberikan kepada seseorang individu atau kelompok. Penilaian sepeti ini merupakan tanda hormat atau apresiasi kepada yang bersangkutan. Fenomena ini sudah diterapkan oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu. Di sisi lain perkembangan tekhnologi informasi dalam era  globalisasi sekarang ini amat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa, khususnya bahasa yang digunakan sehari-hari. Pengaruh-pengaruh ilmu pengetahuan, budaya luar, serta semakin banyaknya kosa kata atau istilah sebagai serapan yang masuk turut mempengaruhi nilai kesopanan serta kesantunan berbahasa.
Dalam konteks individu bahasa dapat menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang diapkan. Penggunaan bahasa yang halus, lemah lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi  penuturnya berbudi. Sebaliknya, penggunaan bahasa yang bersifat sarkastis, menghujat, memaki, memfitnah, mendiskreditkan, memprovokasi, mengejek, atau melecehkan, akan mencitrakan pribadi yang kurang berbudi.
Seringkali kita dengar pepatah bahwa "bahasa menunjukkan bangsa". Bagaimanakah sebenarnya tingkat peradaban dan jati diri bangsa tersebut? Apakah suatu bangsa termasuk bangsa yang ramah, bersahabat, santun, damai, dan menyenangkan ataukah sebaliknya, termasuk bangsa yang senang menebar bibit-bibit kebencian, menebar permusuhan, suka menyakiti, bersikap arogan, dan mau menang sendiri? Bahasa memang memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional. Begitu pentingnya bahasa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu suatu kebijakan yang berimplikasi pada pembinaan dan pembelajaran di lembaga pendidikan penggunaan bahasa dengan baik dan benar.
Dalam kurikulum pada setiap tingkat atuan pendidikan bahasa Indonesia termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika. Kelompok ini juga merupakan salah satu penyangga dari kelompok agama dan akhlak mulia. Ruang lingkup akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral. Kelompok mata pelajaran estetika sendiri bertujuan meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan itu mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehinggamampu menikmati dan mesyukuri hidup, maupun dalamkehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis. Tujuan rumpun estetika tersebut dijabarkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang bertujuan agar peserta didiknya memiliki kemampuan antara lain (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis dan (2) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
Ranah yang menjadi target pembelajaran adalah aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Secara konkret memang pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan sejak tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Ini menunjukkan bahwa secara kurikuler bahasa Indonesia memiliki posisisi strategis dan utama dalam pendidikan formal. Maka, tak pelak lagi manakala bahasa Indonesia selalu menjadi mata pelajaran yang diujian-nasionalkan dala setiap jenjang pendidikan hingga tingkat SMTA. Tragisnya, eksistensi dan besarnya alokasi jam pelajaran bahasa Indonesia di setiap jenjang pendidikan ini belum memberikan kontribusi dan korelasi yang optimal terhadap tumbuhnya kesadaran penggunaan bahasa secara verbal yang lemah lembut, santun, sopan, sistematis, teratur, mudah dipahami, dan lugas.
Guru harus mengakui bahwa pelajaran bahasa Indonesia belum mampu membangun nilai-nilai estetika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini deringkali disebabkan oleh kesalahan kerangka berpikir dasar guru-guru itu sendiri yang secara umum lebih mementingkan beban kurikulum daripada memberikan bimbingan dan mengajarkan  kemampuan berbahasa secara produktif. Hal ini antara lain disebabkan pembelajaran yang dilakukan siswa dan guru masih bersifat kurang komunikatif, dikotomis, artifisial, verbalistis, dan kognitif.
Dalam konteks afeksi hal itu menunjukkan kurangnya prioritas menanamkan dan mendidik nilai-nilai budi dan rasa dalam sikap estetika yang tepat dan benar. Kegagalan menanamkan pendidikan nilai melalui pembelajaran bahasa Indonesia ini tercermin pada perilaku berbahasa yang tidak mengindahkan nilai-nilai sopan santun. Kegagalan ini sedikit banyak telah memberi andil pada terjadinya gejolak sosial dalam masyarakat, perseteruan di tingkat elite serta ikut memengaruhi terjadinya pelecehan terhadap nilai-nilai luhur yang pada mulanya dihormati bersama.
Terdapat korelasi antara bahasa sebagai lambang yang memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi antarmanusia dengan kekerasan yang merupakan perilaku manusia yang hegemonik-destruktif. Pertama, bahwa bahasa dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan kekerasan sehingga mewujudkan salah satu bentuk kekerasan yang disebut kekerasan verbal. Wujudnya terlihat dalam tindak tutur seperti memaki, membentak,  mengancam, menjelek-jelekkan, mengusir, memfitnah, menyudutkan, mendiskriminasikan, mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menghasut, membuat orang malu, menghina, mencemooh, dan lain sebagainya. Kedua, bahasa yang tidak digunakan sesuai dengan fungsinya akan menjadi pemicu timbulnya kekerasan. Fungsi hakiki bahasa adalah alat komunikasi, alat bekerja sama, dan pewujud nilai-nilai persatuan bagi para pemakainya.[1]
Dalam percakapan, ada dua prinsip penggunaan bahasa yang wajar-alamiah, yaitu prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Prinsip kerja sama menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan bentuk yang lugas, jelas, isinya benar, dan relevan kontekstual. Prinsip kesopanan menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan sopan, yaitu bijaksana, mudah diterima, murah hati, rendah hati, cocok, dan simpatik.[2]
Ajaran agama apa pun mengatur etika dan anjuran berbahasa dengan baik dalam kehidupan. Anjuran tersebut juga relevan dengan pepatah lama yang menyebutkan lidah atau lisan bagaikan pedang. Jika lisan telah mengibaskan ketajaman mata pedangnya di hati, rasa sakit dan lukanya akan berbekas untuk waktu yang lama.
Penyimpangan (deviasi) prinsip-prinsip tersebut dapat memicu timbulnya konflik sosial yang dapat menjurus ke tindak kekerasan. Konflik sosial yang sering terjadi belakangan ini bisa dipicu akibat berbicara kasar, berbicara saja tanpa tindakan, berbicara bohong, berbicara dengan keras, tidak jelas, menyakitkan, menyinggung perasaan, merendahkan orang lain, dan tidak transparan. Dalam praktik sehari-hari, perilaku berbahasa yang tidak mengindahkan nilai-nilai dan hakikat fungsi bahasa seperti itu semakin banyak ditemukan di masyarakat kita saat ini. Perilaku yang tidak terpuji ini ironisnya banyak dilakukan orang dengan dalih merupakan bagian proses menuju masyarakat demokratis. Secara sosiologis hal ini ni merupakan cerminan dari euforia demokrasi yang kebablasan.[3]
Perilaku berbahasa yang buruk itu dilakukan oleh semua lapisan: golongan bawah, golongan menengah, bahkan elite politik negeri ini. Sindir-menyindir, saling menghujat, provokasi, dan saling mengancam tidak asing terdengar keluar dari mulut para pemimpin, dan sering muncul dalam media televisi. "Mulutmu harimaumu", itu kata pepatah yang masih tetap relevan. Akibat dari penggunaan bahasa yang tidak terpuji itu kini masyarakat dan elite politik mudah sekali bermusuhan, melakukan tindak anarkis, merusak, dan lain sebagainya. Pendek kata, kehancuran nilai santun berbahasa dapat membawa negeri ini sangat rentan dan rawan dengan konflik-konflik, friksi-friksi, perkelahian, pembunuhan, dan perusakan yang tak berkesudahan. Sudah selayaknya dipikirkan peran sekolah dalam mendidik anak didik dan masyarakat pada umumnya agar berbahasa santun sehingga tidak berbahasa yang dapat memicu tindakan kekerasan.
Berdemonstrasi menyampaikan tuntutan dan aspirasinya adalah hak setiap orang yang mesti diperjuangkan. Namun penyampaian itu hendaknya disampaikan secara beretika. Aksi-aksi jangan seakan membenarkan atau melegalkan kata-kata sekasar apa pun dilontarkan di depan publik. Stoplah sudah kata-kata yang mengumbar bibit-bibit kebencian, membakar amarah, memancingemosi, mendorong anarkisme, dan menebar provokasi. Hentikan kata-kata yang hanya memancing kericuhan dan bentrokan fisik dengan aparat atau pihak lain. Demikian juga dengan parapemimpin bangsa, hendaknya menjunjung etika berbahasa.
Perilaku berbahasa pemimpin bangsa dan elite politik yang kerap menimbulkan perseteruan telah berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat di level akar rumput. Semua itu hanya menghabiskan energi dan membuat rakyat semakin menderita. Momentum Idulfitri yang melambangkan kesucian hati danperingatan Bulan Bahasa yang dilakukan tiap bulan Oktober iniseyogianya dapat menggugah kesadaran berbahasa dengan sopandan santun. Bagi dunia pendidikan, pembelajaran bahasaIndonesia, bahasa daerah, dan bahasa lainnya diharapkan mampu menginternalisaikan dan mengartikulasikan nilai-nilai etika berbahasa dalam perilaku verbal kita sehari-hari.
Pusat Bahasa yang berotoritas membina dan mengembangkan bahasa hendaknya lebih berperan nyata lagi dalam mendorong masyarakat menggunakan bahasa Indonesia yang santun. Lembaga ini jangan hanya berkutat pada riset-riset dan pembakuan bahasa yang hanya menjadi "menara gading" bagi masyarakatnya. Karena bahasa mencerminkan pencitraan pribadi, jati diri bangsa,dan keselamatan hidupnya, sejatinya pemimpin bangsa, elite politik, masyarakat, dan setiap diri berupaya menggunakan bahasa dengan sopan, santun, dan beradab.
Bahasa mencerminkan pribadi seseorang. Jika kita slalu menggunakan bahasa yang baik dan penuh kesantunan orang akan mencitrakan kita sebagai pribadi yang baik dan berbudi. Karena melalui tutur kata seseorang mampu menilai pribadi dari orang tersebut. Sementara itu jika dalam kesehariannya kita tidak memenuhi etika berbahasa santun. Orang lain akan mencitrakan kita sebagai pribadi yang buruk. Demikian pula dengan pentingnya bahasa bagi suatu bangsa. Melalui bahasa suatu bangsa akan dikenal oleh masyarakat dunia. Apakah bangsa tersebut termasuk bangsa yang ramah, sopan, dan santun. Atau bangsa yang cinta akankebencian, permusuhan, dan perseteruan.
Bahasa adalah alat komunikasi yang sangat penting. Karena jika tidak digunakan sesuai dengan fungsinya, bahasa dapat menjadi alat kekerasan verbal yang terwujud dalam tutur kata seperti memaki, memfitnah, menghasut, menghina, dan lain sebagainya. Selain itu dampak dari kekerasan verbal tersebut akan berlanjut pada kekerasan fisik seperti permusuhan, perkelahian, aksi anarkisme, provokasi dan sebagainya. Di Indonesia hal tersebut sering terjadi. Bahkan perilaku tersebut sudah menjadi rahasia umum. Seseorang dengan mudahnya mengeluarkan kata-kata yang tak pantas. Tak aneh bila pembicaraan yang mengabaikan sopan santun menjadi pemicu terjadinya kekerasan.
Ironisnya di era reformasi semakin banyak saja terjadi pelanggaran terhadap penggunaan bahasa yang santun. Dalam aksi demonstrasi tak jarang terlontar kata-kata yang kasar dan tak santun. Memang masyarakat mempunyai hak untuk mengungkapkan aspirasinya namun alangkah baiknya jika dilakukan dengan damai tanpa menimbulkan kericuhan atau bentrok dengan aparat. Begitu pula dengan para pemimpin. Sebagai tauladan yang memiliki pengaruh besar bagi bangsa ini hendaknya menjunjung etika berbahasa yang santun. Pentingnya berbahasa santun sangatlah jelas. Bahasa santun digunakan sebagai pencitraan pribadi, jati diri bangsa, dan alat pemersatu. Pendek kata pendidikan hendaknya berupaya mendidik siswa agar berbahasa yang santun dan beradab.
Ketidaksantuan berbahasa merupakan bentuk pertentangan dengan kesantunan berbahasa. Jika kesantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang baik dan sesuai dengan tata krama, ketidaksantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak baik dan tidak sesuai dengan tata krama Ketidaksantunan berbahasa banyak ditemukan dalam kehidupan sehari, baik secara lisan maupun tulisan.[4]
Ketidaksantunan berbahasa tidak hanya dilakukan oleh masyarat tak berpendidikan, tetapi juga oleh masyarakat yang berpendidikan (kaum intelektual). Banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat berpendidikan tidak santun dalam berbahasa. Bahkan, masyarakat sekaliber anggota dewan pun banyak ditemukan menggunakan bahasa yang tidak santun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang sebenarnya juga tidak menjamin santun atau tidaknya seseorang dalam berbahasa. Kata-kata seperti bodoh, pantengong, sialan, acapkali terucap dari kalangan berpendidikan. Kata tersebut digunakan kepada lawan bicaranya, misalnya, lawan politiknya, atasan kepada bawahannya, dosen kepada mahasiswa, atau guru kepada murid. Pemakaian bahasa yang tidak santun tersebut tentu saja disebabkan oleh ketidakmampuan orang tersebut mengendalikan amarahnya dan keinginan orang tersebut untuk meluapkan rasa bencinya kepada orang lain sehingga dirasakan adanya pembebasan dari segala bentuk dan situasi yang tidak mengenakkan.
Memang, ada kepuasaan emosi tersendiri ketika seseorang menggunakan bahasa yang tidak santun. Namun, menggunakan bahasa yang tidak santun dapat menimbulkan konsekuensi yang serius bagi penggunanya. Sebuah  hadih maja Aceh menyebutkan bahwa konsekuensi ketidaksantunan dalam berbahasa adalah kebinasaan.
Kebinasaan yang dimaksud dalam tersebut berkaitan dengan beberapa hal. Pertama, ketidaksantunan dalam berbahasa memberikan konsekuensi berupa rasa benci terhadap orang yang tidak santun berbahasa. Rasa benci  dapat terjadi secara individu dan dapat pula terjadi secara kelompok. Munculnya rasa benci tersebut akibat rasa sakit hati pihak yang menjadi sasaran ketidaksantunan berbahasa. Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan kepada lawan bicaranya, Bodoh sekali kamu, kayak orang ndak ngerti undang-undang saja, lawan bicaranya tentu akan merespons dengan rasa benci yang sangat mendalam..  Artinya, sikap ramah seseorang akan berubah menjadi sifat benci jika telah sakit hati. Rasa sakit hati yang muncul, tentu saja akan disertai oleh dendam. Dendam yang dimaksud di sini berarti reaksi balik dari orang yang menjadi sasaran ketidaksantunan berbahasa. Muncul rasa dendam dari pihak yang menjadi sasaran ketidaksantunan berbahasa disebabkan oleh ketidaksenangannya terhadap ketidaksantunan itu. Rasa dendam ini wajar saja terjadi karena manusia merupakan makhluk yang sangat menjunjung tinggi penghormatan.
Kedua, pihak yang tidak memiliki kesantunan dalam berbahasa sesungguhnya hanyalah memperlihatkan aib sendiri. Dengan kata lain, ketidaksantunan dalam berbahasa hanya akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Seorang pendidik yang mengucapkan kata-kata seperti tolol atau bodoh kepada anak didiknya, sebenarnya telah memperlihatkan aibnya sendiri kepada anak didiknya. Ia telah memperlihatkan kepada peserta didiknya bahwa akhlaknya tidak baik. Ia akan dianggap oleh siswa sebagai pendidik yang suka mencaci dan memaki. Akibatnya, sang pendidik itu tidak dihormati oleh peserta didiknya. Memang, pendidik yang suka mencaci dan memaki akan ditakuti oleh peserta didiknya, tetapi rasa takut itu bukanlah pertanda bahwa peserta didik menghormatinya. Sang pendidik juga telah memperlihatkan kepada peserta didik bahwa ia adalah orang yang ‘bodoh’ karena tidak menggunakan logikanya bahwa jika peserta didik sudah pintar, mereka tentu tidak perlu lagi belajar. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah seorang pendidik berbahasa santun karena ia merupakan sosok yang digugu dan ditiru oleh peserta didik.
Sudah sepatutnya pula seorang pendidik berbahasa santun agar dia dimuliakan oleh peserta didiknya. Kasus ketidaksantunan berbahasa bukan hanya dialami oleh sang pendidik, melainkan juga dialami oleh semua orang seperti pejabat pemerintah yang notabene-nya merupakan pembawa aspirasi rakyat. Pejabat pemerintah yang sering berbahasa tidak santun akan menerima konsekuensi berupa dibencinya mereka oleh rakyat. Pejabat pemerintah yang sering berbahasa tidak santun akan dianggap sebagai pejabat yang berpendidikan, tetapi tidak berakhlak. Pejabat seperti ini hanya akan menerima upatan, cacian, dan makian dari rakyatnya akibat ketidaksenangan rakyat. Sungguh tak layak pejabat pemerintah berbahasa tidak santun karena ia merupakan pemimpin yang seharusnya menjadi contoh bagi rakyatnya. Tidak ada satu pun rakyat mendambakan pejabat yang suka berbahasa tidak santun, tetapi sebaliknya, rakyat mendambakan pejabat yang santun, berbudi pekerti yang baik dan berakhlak mulia.
Karena besarnya konsekuensi yang akan diterima oleh orang yang tidak santun dalam berbahasa, sudah sepatutnyalah ketidaksantunan dalam berbahasa ini dihindari semaksimal mungkin. Sesungguhnya penggunaan bahasa yang santun mencerminkan keluhuran budi pekerti seseorang. Seorang pendidik yang berbahasa santun mencerminkan bahwa ia adalah orang yang berperilaku mulia. Seorang pemimpin yang berbahasa santun mencerminkan bahwa ia adalah pemimpin yang berakhlak mulia dan layak untuk diangkat menjadi pemimpin. Mengajarkan sesuatu atau mengkritik sesuatu dengan bahasa yang tidak santun sesungguhnya hanya akan menimbulkan efek pertengkaran yang berkepanjangan dan tentu saja tidak akan menyelesaikan masalah.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1   Mengapa santun bahasa diperlukan dalam berkomunikasi antarmanusia?
1.2.2   Bagaimanakah kriteria santun bahasa yang berlaku dalam  masyarakat Indonesia?
1.2.3   Bagaimanakah pola didik santun bahasa yang tepat dalam kondisi masyarakat Indonesia seperti sekarang?

1.3    Tujuan
1.3.1   Memahami perlunya santun bahasa dalam berkomunikasi antarmanusia.
1.3.2   Mengetahui kriteria santun bahasa dalam masyarakat Indonesia?
1.3.3   Menemukan alternatif solusi pola didik yang tepat dalam masyarakat Indonesia bagi siswa sekaligus generasi muda bangsa..

 

2.      PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Santun Bahasa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata 'santun' (adj.) berarti 1 halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan; 2 penuh rasa belas kasihan; suka menolong; me·nyan·tun v 1 mengasih; mengasihani; menaruh belas kasihan (kpd): membantu serta - fakir miskin adalah kewajiban kita semua; 2 menyokong (meringankan) kesusahan orang; menolong; 3 memberi bantuan: tujuan mendirikan yayasan itu ialah untuk - anak yatim piatu; me·nyan·tuni v menyantun; memberi ganti rugi; san·tun·an n 1 uang yg diberikan sbg pengganti kerugian krn kecelakaan, kematian, dsb: keluarga korban gempa menerima - dr pemerintah daerah; 2 bantuan: - yatim;
pe·nyan·tun n 1 orang yg baik budi bahasa dan tingkah lakunya; orang yg sopan; 2 orang yg suka menaruh belas kasihan; 3 orang yg suka menolong (membantu, memperhatikan kepentingan orang lain, dsb); 4 pelindung dan pengarah suatu perguruan tinggi: dewan - Universitas Mataram; pe·nyan·tun·an n proses, cara, perbuatan menyantun; pemberian pertolongan dsb: - thd anak-anak cacat adalah suatu pekerjaan mulia.
Dalam Bahasa Indonesia, sopan dan santun seringkali disandingkan dalam penggunaannya. Dalam penerapannya sopan dan santun ini acapkali disamakan artinya sebagai perilaku yang sesuai dengan adat dimasyarakat. namun sebenarnya sopan dan santun yang dalam konteks ini disebut sebagai kesopanan dan kesantunan itu berbeda. Kesantunan merupakan bagian dari kesopanan, jadi sesuatu yang sopan sudah tentu santun tapi sesuatu yang santun belum tentu sopan. Maka dapat juga diartikan bahwa penuturan yang santun mematuhi maksim kesopanan. Disebut maksim kesopanan karena kesantunan berbahasa sudah termasuk didalamnya. Maka pada pembahasan selanjutnya maksim kesopanan akan diperkecil menjadi teori kesantunan, yang kemudian kesopanan akan dibahas pada akhir pembahasan.

2.2  Kriteria Normatif Santun Bahasa          

2.1  Teori-teori Kesantunan
Brown dan Levinson (1978) dalam Chaer (2010) mengatakan teori kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka (face). Muka tersebut dibagi dua, yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif itu mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional yang ingin dihargai dan membiarkannya bebas dari keharusan melakukan sesuatu. Muka positif ialah mengacu pada setiap diri seseorang yang rasional, yang berkeinginan agar apa yang dilakukan atau dimilikinya diakui orang lain sebagai sesuatu yang baik.[5]
Geoffrey Leech (1983) dalam Chaer (2010) menerangkan bahwa maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.[6] Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.
Maksim-maksim tersebut menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan. Maksim-maksim ini dimasukkan ke dalam kategori prinsip kesopanan.
Leech menjelaskan teori kesantunan dalam enam maksim, yaitu
  1. Maksim Kebijaksanaan
Sedapat mungkin kita membuatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, dan keuntungan orang lain sebesar mungkin. Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur. Rasa sakit hati dalam sebuah pertuturan juga dapat diminimalisasi dengan maksim ini.
  1. Maksim Penerimaan
Pengguna bahasa bisa mengurangi keuntungan diri sendiri dan menambahi pengorbanan diri sendiri. Jika setiap orang melaksanakan inti pokok maksim kedermawanan dalam ucapan dan perbuatan dalam pergaulan sehari-hari, maka kedengakian, iri hati, sakit hati antara sesama dapat terhindar. Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
  1. Maksim Kemurahan
Maksim ini menuntut setiap penutur untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa merendahkan orang lain.
  1. Maksim Kesederhanaan atau Kerendahan Hati
Petutur bisa juga mengurangi pujian pada diri sendiri, tambahi cacian pada diri sendiri. Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, keserderhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai paremeter penilaian kesantunan seseorang.
  1. Maksim Kecocokan
Maksud kecocokan adalah upaya menguurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Maksim permufakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan. Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun.
  1. Maksim Simpatisan
Tindakan ini merupakan upaya untuk mengurangi antipasti antara diri sendiri dengan orang lain. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipasti terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Masyarakat tutur Indonesia, sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap orang lain ini di dalam komunikasi kesehariaanya. Orang yang bersikap antipasi terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat.
Pada maksim kemurahan diganti menjadi maksim penghargaan. Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para perserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Perserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tidakan tidak menghargai orang lain. Karena merupakan perbuatan tidak baik, perbuatan itu harus dihindari dalam pergaulan sesungguhnya. Yang pada pengertiannya kemurahan dan penghargaan dikatakan saling menyerupai.




2.2  Skala Kesantunan
Kesantunan bahasa dapat diklasifikasi berdasarkan skala kesantunannya. Skala kesantuan merupakan ukuran pembanding kesantunan bahasa yang digunakan dalam suatu komunitas atau pengguna bahasa tertentu. Berikut ini skala kesantunan bahasa dari beberapa ahli.[7]
Skala Kesantunan menurut Leech (1983) adalah sebagai berikut:
  1. Skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale) menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri, si mitra tutur akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
  2. Skala pilihan (Optionality Scale) menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur. Semakin pentuturanitu memungkinkan penutur atau mitra tutur mementukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun.
  3. Skala ketidaklangsungan (Indirectness Scale) menunjuk kepada peringkat langsung atau tudak langsugnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin sanutunlah tuturan itu.
  4. Skala keotoritasan (Authority Scale) menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebakinya, semakin dekat jarak peringkat status sosial diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
  5. Skala jarak sosial (Social Distance Scale) menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam bsebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial dia antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu.
Skala Kesantunan  menurut Brown dan Levinson (1987) sebagai berikut:
  1. Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokltural. Berkenaan dengan perbedaan umur antara penutur dan mitra tutur,  lazimnya didapatkan bahwa semakin tua umur seseorang, peringkat kesantunan dalam bertutur akan semakin tinggi. Sebaliknya, orang yang masih berusia muda cenderung memiliki peringkat yang rendah di dalam kegiatan bertutur. Orang yang berjenis kelamin wanita, cenderung memiliki kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria. Hal demikian disebabkan oleh kenyataan bahwa kaum wanita cenderung berkenaan dengan sesuatu yang bernili estetika dalam keseharian hidupnya. Sebaliknya, pria cenderung jauh dari hal-hal itu karena, biasanya ia banyak berkenaan dengan kerja dan pemakaian logika dalam kegiatan keseharian hidupnya. Latar belakang sosiokltural seseorang memiliki peran sangat besar dalam menentukan peringkat kesantunan bertutur yang dimilikinya. Orang yang memiliki jabatan tertentu didalam masyarakat, cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang seperti petani, pedagang, buruh bangunan, pembantu rumah tangga dsb. Demikian pula orang-orang kota cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat desa.
  2. Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur atau sering kali disebut dengan peringkat kekuasaan (power writing) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Contoh: di dalam ruang periksa sebuah rumah sakit, seorang dokter memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien. Demikian pula di dalam kelas seorang dosen memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang mahasiswa.
  3. Skala peringkat tindak tutur (rank rating), didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya. Contoh: dalam situasi yang sangat khusus, bertemu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertemu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesopanan yang berlaku pada masysrakat tutur itu. Namun demikian, hal yang sama akan dianggap sanagt wajar dalam situasi yang berbeda. Misalnya, pada saat terjadi kerusuhan atau kebakaran orang berada di rumah orang lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan.
Skala Kesantunan menurut Robin Lakoff (1973) adalah sebagai berikut:
  1. Skala formalis  (formality scale) yaitu skala yang dinyatakan agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dalam kegiatan bertutur. Tuturan yang digunakan tudak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh. Didalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya antara yang satu dengan yang lainnya.
  2. Skala ketidaktegasan (hesitancy scale) yaitu skala yang menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur. Pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua beah pihak. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku didklam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun.
  3. Peringkat kesekawanan atau atau kesamaan (equality scale) menunjukkan agar bersifat santun. Orang harus bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak yang alin. Agar tercapai maksud demikian, penutur haruslah menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai.

2.4 Penyebab Ketidaksantunan
Ketidaksantunan terjadi ketika penuturnya tidak mampu mengendalikan apa yang dituturkannya sehingga bahasa yang ia gunakan menjadi tidak santun. Pranowo (2009) menjelaskan ada lima penyebab ketidaksantunan, yaitu :
a.       Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar
Kritik langsung dengan kata-kata kasar menyebabkan sebuah penuturan jauh dari skala peringkat kesantunan. Seperti pada kata “payah”  sebaiknya diganti dengan “belum bekerja maksimal.
b.      Dorongan rasa emosi penutur
Pada sebuah penuturan hendaknya penutur menjauhkan dari rasa emosi sehingga berkesan bahwa penutur marah kepada lawan tuturnya.
c.       Protektif terhadap pendapat
Protektif terhadap pendapat sendiri dilakukan agar tuturan lawan tutur tidak dipercaya oleh pihak lain.
d.      Sengaja menuduh lawan tutur
Tuduhan yang dilayangkan kepada lawan tutur hanya berdasarkan kecurigaanya belaka tanpa disertai bukti yang nyata, maka akan membut tuturan menadi tidak santun.
e.       Sengaja memojokan mitra tutur
Penutur biasanya melakukan ini agar lawan tutur menjadi tidak berdaya atas apa yang dikatakan  penutur.
Maka penyebab dari kelima hal di atas adalah penutur memang tidak mengetahui kaidah kesantunan berbahasa, penutur sulit meninggalkan kebiasaan lama akibat hasil budaya dan sifat bawaan atau karakter penutur yang memang tidak santun.

2.5 Kesopanan
Pada awal pembahasan telah dikemukakan mengapa pada pembahasan sebelumnya digunakan teori kesantunan bukan kesopanan. Pada dasarnya prinsip dalam pragmatik ini tetap dinamakan maksim kesopanan, karena jika digunakan maksim kesantunan, maksim kesantunan tidak bisa menjawab semua kaidah-kaidah dalam bertutur. Maka maksim kesopanan dirasa cukup melingkupi kata kesantunan dan kesopanan itu sendiri. Sederhananya adalah tuturan yang benar adalah yang memaatuhi maksim kerjasama, tuturan yang santun adalah tuturan yang memenuhi maksim kesopanan yang telah dijelaskan sebelumnya.
Chaer (2010) menjelaskan tuturan yang benar berkaitan dengan masalah isi penuturan, tuturan yang santun berkaitan dengan bahasa yang digunakan dan tuturan yang sopan berkaitan dengan :
a.       Topik tuturan, topik tuturan bersumber darimana saja sesuai masalah dimasyarakat. Hanya saja ada topic yang dianggap tidak sopan dalam penuturan. Misalnya mengenai usia, yang tidak boleh ditanyakan pada seorang wanita (yang bukan anak-anak dan belum nenek-nenek), meskipun dengan bahasa yang santun.
b.      Konteks situasi ini berkenaan dengan masalah tempat, waktu, dan suasana psikologis. Contohnya seperti berbicara dengan suara keras di Rumah Sakit.
c.       Jarak hubungan sosial antara penutur dan lawan tutur. Hal ini berkaitan dengan seberapa dekat hubungan penutur dan lawan tuturnya. Misalnya, seperti tidak sopan jika menanyakan masalah pribadi lawan tutur pada saat awal perkenalan.
            Dengan demikian kesantunan dan kesopanan berbahasa amat erta kaitannya dengan kaidah kebahasan sera selaras dengan norma sosial dan budaya yang  berlaku dalam masyarakat atau komunitas pengguna bahasa. Dalam konteks bahasa Indonesia, hal ini seseuai dengan kaidah kebahasaan serta norma sosial dan budaya dalam masyarakat Indonesia. Maka, konsep berbahasa dengan baik dan benar amat tepat diterapkan di Indonesia.

2.6  Implikasi dalam Pembelajaran di Sekolah
Sebagai pengajar di lembaga pendidikan, seorang guru harus tampil profesional terutama dalam berbahasa. Bahasa adalah hidup itu sendiri. Barangkali entitas yang paling mencirikan kehidupan manusia dan bahkan satwa ialah bahasa. Bahasa harus betul-betul dikuasai bagi siapa saja yang hidup, termasuk para guru.
Satu dari sekian kemustahilan dalam hidup umat manusia ialah melepaskan diri dari bahasa. Semakin keras upaya memikirkan kapan, bagaimana dan dimana orang tidak melibatkan bahasa, semakin kuat pula bahasa terlibat. Posisi bahasa manusia sangat berbeda dengan bahasa satwa. Apalagi jika manusia diidentikkan dengan gelar yang bermakna bentuk tegak dan kesadaran subyektif sempurna.
Kesempurnaan dalam bahasa guru dinyatakan dengan penguasaan tiga tahapan bicara. Guru harus paham dengan apa yang disampaikan (ide), bagaimana mengungkapkan (encoding) dan mengungkapkannya (sending). Dengan modal demikian, maka bahasa yang disampaikan di kelas akan mudah dipahami oleh para siswanya sehingga siswa akan mudah untuk memahami bahasa gurunya.
Keteladanan guru perlu menggunakan bahasa santun dalam mengajar. Kalau gurunya santun dalam berbahasa, maka murid akan menirunya. Jadi bahasa santun merupakan wujud sumbangsih guru membentuk karakter siswa dalam berbahasa di tengah masyarakat.
Kompetensi guru dalam aspek pedagogis sangat membutuhkan penguasaan bahasa pendidikan yang bagus. Kalau guru sudah salah dalam menggunakan bahasa, sudah barang tentu hasil pendidikan akan menjadi kurang bagus. Begitu halnya dengan kompetensi sosial dan kepribadian sangat butuh penunjang bahasa santun tersebut.
Guru perlu membiasakan siswa berbicara secara santun dalam pembelajarannya. Hal ini akan membiasakan dan sekaligus mendidik siswa untuk berbicara dengan baik dan benar. Pada umumnya orang tidak menyadari bahwa menggunakan bahasa adalah suatu kemahiran yang kompleks. Penggunaan bahasa terasa wajar karena tanpa diajarkan siapa pun, seorang bayi akan tumbuh besar bersama-sama dengan pertumbuhan bahasanya. Dari umur satu hingga satu setengah tahun, bayi pada awalnya mengeluarkan bentuk-bentuk bahasa yang kita kenal sebagai cooing ‘dekutan’, babbling ‘celotehan’,kemudian berkembang menjadi Ujaran Satu Kata (USK).Ujaran Satu Kata (USK) ini tumbuh menjadi Ujaran Dua Kata (UDK), dan akhirnya membentuk Pivot Grammar ‘Tata Bahasa Anak’ dan akhirnya menjadi kalimat kompleks ketika umurnya menjelang empat atau lima tahun.[8]
Bahasa mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan manusia. Michael Halliday menguraikan secara garis besar tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, regulatoris, representasional, interaksional, personal, heuristik, dan imajinataif. Seorang pelajar bisa saja mengunakan beberapa fungsi tersebut dalam satu kalimat atau percakapan saja dalam proses pembelajaran bahasa.
Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi.  Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia  diarahkan agar siswa terampil berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Siswa diharapkan menguasai lima keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan apresiasi sastra. Pembelajaran bahasa selain untuk meningkatkan keterampilan berbahasa, juga untuk meningkatkan kemampuan berpikir, mengungkapkan gagasan, perasaan, pendapat, persetujuan, keinginan, penyampaian informasi tentang suatu peristiwa dan kemampuan untuk memperluas wawasan.
Tujuan kita berkomunikasi kepada lawan bicara adalah untuk menyampaikan pesan dan menjalin hubungan sosial (social relationship). Dalam penyampian pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal baik lisan atau tulis, atau non-verbal (bahasa isyarat) yang dipahami kedua belah pihak; pembicara dan lawan bicara. Sedangkan tujuan komunikasi untuk menjalin hubungan sosial dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi. Misalnya, dengan menggunakan ungkapan kesopanan (politeness), ungkapan implisit (indirectness), basa-basi (lipsservice) dan penghalusan istilah (eufemisme).
Strategi tersebut dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi berjalan baik dalam arti pesan tersampaikan dengan tanpa merusak hubungan sosial diantara keduanya. Dengan berlaku demikian setelah proses komunikasi selesai antara pembicara dan lawan bicara mempunyai kesan yang mendalam, misalnya, kesan simpatik, sopan, ramah, dan santun. Namun demikian untuk mencapai dua tujuan komunikasi tersebut ternyata tidak mudah. Bahkan seringkali prinsip-prinsip komunikasi sering berbenturan dengan prinsip-prinsip kesopanan dalam berbahasa. Disatu sisi kita diharuskan untuk mematuhi prinsi komunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman, tetapi disisi lain kita harus melanggar prinsip-prinsip tersebut, dengan berbasa-basi, untuk menjaga hubungan sosial.
Berkaitan dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, dalam kurikulum 2006 (KTSP), pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tertulis. Standar kompetensi Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan kualifikasi minimal peserta didik yang mengagambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia sehingga mampu sampai pada tataran kreatif dan produktif dalam berbahasa Indonesia sesuai dengan kebutuhan, jenjang, maupun jenis lembaga pendidikannya.
Kenyataan di lapangan secara umum belum mencapai sasaran yang sesuai dengan fokus tujuan pendidikan. Secara praktis kita bisa amati bahasa siswa ketika berbicara dengan temannya, dengan guru atau dengan orang yang lebih tua. Konteks sosial demikian menonjol. Bahasa gaul mendominasi gaya bahasa siswa. Bahasa SMS siswa seringkali mencerminkan kekurangsopanan dan kekurangsantunan berbahasanya. Begitu juga ketika berbicara dengan guru atau orang yang lebih tua di lingkungan sekolah, karyawan TU misalnya, siswa sering di luar kontrol menggunakan bahasa gaul yang pasti membuat jengah orang yang mendengar dan paham perilaku bahasa yang baik dan santun, terutama bagi guru bahasa Indonesia. Namun sebaliknya, guru pun kadang tercetus bahasa-bahasa kasar ketika dalam keadaan emosi menjagar di kelas.
Yang sering ditemukan di kalangan bahasa siswa adalah  pilihan kata atau istilah yang mempunyai makna berhubungan dengan nilai kesantunan dalam berkomunikasi dengan guru. Hal itu tentulah berbeda adalah kosakata bahasa biasa atau wajar, yaitu kosakata bahasa yang digunakan siswa dalam berkomunikasi dengan siswa yang lain. Kosakata bahasa `tidak santun` dalam komunikasi siswa biasanya terjadi bila siswa berkomunikasi justru dengan teman akrabnya dalam konteks pergaulan dan situasi tidak resmi.
Dalam konteks demikian bisa terjadi perbedaan persepsi tentang kesantunan berbahasa di kalangan siswa, guru, dan karyawan. Pandangan siswa terhadap kesantunan berbahasa lebih ditekankan kepada segi pragmatis, sedangkan menurut guru dan karyawan kesantunan berbahasa lebih cenderung normatif (berkaitan dengan nilai-nilai norma)  antara lain kehalusan, kesopanan, kepantasan, penghargaan, kebenaran, kejujuran, keadilan, kebaikan, kelurusan, kekhidmatan, optimisme, keindahan, kesenangan, kelogisan, kefasihan, keterangan, ketepatan, keselarasan, dan menyentuh hati, mengesankan, tenang, efektif, lunak, dermawan, lemah lembut, dan rendah hati, dan sikap-sikap lain yang mencerminkan nilai-nilai pribadi dan budaya tinggi.
Berdasarkan hal itu amat jelas bahwa peran sekolah dan guru amat penting dalam memibimbing, mendidik, dan melatih siswa secara rutin untuk bersopan dan bersantun bahasa. Guru adalah pemegang kunci dan sekaligus ujung tombak pencapaian misi pembaruan pendidikan. Dalam konteks demikian guru dapat mengondisikan siswa agar tertur dan terarah dalam berbahasa. Maka gurulah yang mengatur, mengarahkan, dan menciptakan suasana kegiatan belajar mengajar  yang tepat untuk mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional. Oleh karena itu, secara tidak langsung guru dituntut untuk lebih professional, inovatif, kreatif, perspektif, prospektif,  dan proaktif dalam menjalankan tugas profesinya. Keteladanan perilaku dan sopan-santun berbahasa amat memengaruhi karakter generasi muda Indonesia dan santun bahasanya.
Peribahasa  klasik mengatakan ”Guru kencing berdiri , murid kencing berlari”., Apa pun yang dilakukan dan diucapkan guru selalu dijadikan contoh oleh murid dalam kesehariannya. Murid akan meniru dan meneladaninya. Beberapa metode pendidikan bisa diterapkan dalam hal membiasakan anak berperilaku santun dalam berbahasa. Ada yang mengatakan lima langkah metode dalam mendidik anak-siswa, yaitu pertama adalah metode keteladanan, kedua metode adat kebiasaan atau pembiasaan, ketiga pendidikan dengan metode nasihat, keempat metode pengawasan, kelima dengan menggunakan metode hukuman.
Men jadi tanggung jawab semua konstituen sekolah untuk mengajari dan meneladani siswa-siswinya untuk berbahasa Indonesia yang sopan, santun, dan beradab yang mencerminkan kepribadian dalam berbagai dimensi serta berfungsi memelihara serta membangun kerja sama maupun kerukunan sesama. Secara didaktis hal ini disistemisasikan dalam proses pembelajaran sehari-hari. Semua konstituen sekolah memberi sikap apresiatif, penghargaan yang wajar pada bahasa dan budaya. Selin itu, pelajaran bahasa menggunakan pendekatan komunikatif, dengan tetap menekankan perlunya kesopanan berbahasa. Ujung-ujungnya, semua konstituen sekolah terkondisi dan disiplin untuk berbahasa dengan santun dan sopan.
Imam Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumiddin menjelaskan bahwa kebiasaan anak berperangai baik atau jahat sesuai kecenderungan dan nalurinya. Ia mengatakan ; “Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci  adalah permata yang sangat mahal harganya. Jika dibiasakan pada kajahatan dan dibiarkan seperti dibiarkannya binatang, ia akan celaka dan binasa. Sedang memeliharanya adalah dengan upaya pendidikan dan mengajari akhlak yang baik.”[9]
Guru adalah orang tua siswa di sekolah. Bila guru memberi contoh prilaku berbahasa secara santun, membiasakannya dalam keseharian siswa, menasihati siswa bila berlaku tidak santun terutama dalam prilaku berbahasa, mengawasi kegiatan tersebut bersama seluruh civitas sekolah, dan memberi hukuman yang mendidik kepada siswa yang melanggar kebiasaan berbahasa secara santun di sekolah, maka siswa lama kelamaan akan memiliki kebiasaan berbahasa secara santun dalam kesehariannya. Bukan hanya di sekolah tapi dalam seluruh kehidupan siswa karena hal tersebut sudah menjadi tabiat yang mendarah daging pada diri siswa.Menjadi  akhlak dalam kesehariannya.
Guru adalah pendidik anak bangsa. Guru perlu membiasakan berbicara secara santun pada semua orang terutama pada siswa. Dengan demikian tidak ada lagi bahasa yang kasar terucap oleh guru meskipun dalam keadaan yang sangat emosional. Bagi guru berperilaku bahasa secara santun merupakan wujud pribadi mulia yang bernilai keteladanan berharga bagi murid-muridnya.

3        PENUTUP

3.1  Simpulan
3.1.1  Masyarakat Indonesia yang kaya akan bahasa merupakan masyarakat yang berbudaya tinggi sebagai perwujudan nilai rasa hakikat manusianya sehingga kesantuan dan kesopanan merupakan nilai luhur yang sudah membudaya yang perlu dilestarikan.
3.1.2  Perkembangan bahasa akibat zaman globalisasi yang tidak bisa dilawan bisa disikapi secara bijak dengan menekankan sikap keteladanan dari para to, guru, dan keluarga. Untuk itu, sekolah memegang peran penting dalam pembiasaan bahasa yang sopan dan santun.
3.1.3  Bahasa guru memiliki peran penting dalam memberikan keteladanan berbahasa sesuai dengan kaidah, nilai rasa yang tepat, dan sesuai dengan situasi dan kondisi.

3.2  Saran
3.2.1  Nilai luhur sebagai perwujudan masyarakat yang berbudi luhur dn berbudaya tinggi hendaknya dipahami oleh semua konstituen keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta diimplemetasikan dalam pikiran, perkataan, perbuatan, dan sikap saat berbahasa dalam kehidupan sehari-hari.
3.2.2  Sekolah hendaknya membiasakan berbahasa dengan sopan dan santun sehingga selaras dengan semboyan berbahasa dengan baik dan benar. Di sini semua konstituen sekolah hendaknya menyadari bahwa tidak semua kebiasaan berbahasa yang ada sekarang ini benar. Maka, biasakanlah dengan yang benar.
3.2.3  Tekad dan niat guru untuk menjadi teladan siswa-siswinya dalam berbahasa harus dimulai dari diri sendiri dengan membiasakan dari hal-hal yang praktis-pragmatis-komunikatif sehari-hari tatkala mengajar di kelas. Semua akan berproses dan memakan waktu, dan akan terasa hasilnya di kemudian hari.


Daftar Pustaka

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jkarta: PT Rineka Cipta.

Dardjowidjoyo, Soenjono.2008. Psikolinguistik, Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Unika Atma Jaya.

Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di Beberapa Etnik di Jakarta”, dalam Kaswanti Purwo (ed.) Bahasa dan Budaya. Jakarta: PELBA 5.

Hastuti P.H., Sri. 1997. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Depdiknas: Jakarta.

Pranowo, dkk. 2004. “Kesantunan Berbahasa Para Politisi di Media Massa”. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Safriandi. 2008. Mari Berbahasa Santun. Dalam http://pondokbahasa.wordpress.com/2008/11/23/kesantunan-berbahasa-indonesia-sebagai-pembentuk-kepribadian-bangsa, diakses 27 Maret 2012, pukul 14.27 WIB.

Sofiah, Isti. 2010. Etika Berbahasa Santun. Dalam http://iswavy.blogspot.com/2010/01/etika-bahasa-santun.html, diakses 5 Mei 2012, pukul 30.45 WIB.

Wahab, Abdul. 1995. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya : Airlangga University Press.




[1] Pranowo, dkk. 2004. “Kesantunan Berbahasa Para Politisi di Media Massa”. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Isti Sofiah dalam Etika Berbahasa Santun, http://iswavy.blogspot.com/2010/01/etika-bahasa-santun.html, diakses 5 Mei 2012, pukul 30.45 WIB

[5] Sosiolinguistik, Perkenalan Awal karya Abdul Chaer dan Leoni Agustina, Penerbit Ribka Cipta, Jakarta, 2010.
[6] Pembelajaran Santun Bahasa Melalui Pendekatan Pargmatik karya Pranowo dalam http://pondokbahasa.wordpress.com/2008/11/23/kesantunan-berbahasa-indonesia-sebagai-pembentuk-kepribadian-bangsa, diakses 27 Maret 2012, pukul 14.27 WIB.
[7] Ibid.

[8] Psikolinguitik karya Soenjono Dardjowidjojo, cetakan keempat, dicetak oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2010.
[9] Safriandi. 2008. Mari Berbahasa Santun. Dalam http://pondokbahasa.wordpress.com/2008/11/23/kesantunan-berbahasa-indonesia-sebagai-pembentuk-kepribadian-bangsa, diakses 27 Maret 2012, pukul 14.27 WIB.